Hati-hati (dalam) Menjaga Hati


Nabi pernah dawuh "innamal a'malu bi khawatimiha," amal itu kualitasnya akan tampak di akhir. Bisa jadi niat awal kita baik, tapi tak jarang di tengah-tengah perjalanan, kelakuan kita menyimpang dari niat semula karena tak tahan godaan hawa nafsu.

Atau boleh jadi niat kita baik namun cara menjalankan niat itu melanggar adab dan hak atas orang lain, misal dengan berdusta, fitnah, mengumpat dengan niat menghina, sehingga pada akhirnya yang muncul justru adalah pertikaian dan adu-domba. 

Kalau niat baik saja bisa bermasalah, apalagi niat buruk.

Maka sadar diri ini perlu agar kita terus dalam kondisi khauf dan raja', takut dan harap. Kita takut kemungkinan amal tak diterima/diridhai, karena sadar masih bercampur dengan nafsu-nafsu pribadi, pamrih, dan perbuatan sehari-hari yang merusak amal (dusta, fitnah, suudzon, mengumpat,  dan sebagainya); namun kita sekaligus berharap bahwa amal akan diterima karena Dia adalah al-Rahman dan al-Rahim, yang mengizinkan kita untuk beribadah, dan kita masih ada harapan besar untuk memperoleh keselamatan melakui rahmat-Nya.

Kesadaran ini penting agar kita  lebih sibuk introspeksi diri, memperbaiki akhlak dan membersihkan hati, ketimbang  membenci dan menyalahkan orang lain.

Maka kanjeng Nabi mengajarkan doa husnul khatimah sebagai   pengingat sekaligus isyarat agar kita selalu muhasabah diri (mewaspadai nafsu), karena perjuangan melawan hawa nafsu ini berlangsung seumur hidup. Kita tidak tahu apakah saat ajal tiba, kita dalam keadaan baik atau buruk? Karena itu, orang yang merasa sudah rajin berbuat baik dan beribadah justru harus semakin hati-hati menjaga hati. 


Posting Komentar

0 Komentar