Cermin


Kulihat orang sombong, aku melihat kesombongan dalam diriku. Kulihat orang menghina orang lain, aku melihat kehinaan dalam diriku.  Kulihat orang umbar benci, kulihat kebencian dalam diriku. Seringkali, yang kulihat adalah pantulan dari diriku.

Tetapi cerminku retak. Juga buram. Cerminku mlengse dan tergores sehingga sering bias pantulannya.  Kadang aku melihat diriku yang buruk memantul di mataku menjadi seolah diriku yang baik. Aku terpesona. Lalu aku mematut-matut diri di cermin yang bias dan buram itu. Aku merasa keburukanku adalah keindahanku dan aku bangga. Lalu aku kan marah jika ada yang mengingatkanku bahwa cerminku mlengse, perlu diperbaiki. Aku tak terima jika perasaan sudah baik ini ternyata keliru. 

Kadang juga aku melihat pantulan kebaikan tampak buruk karena aku melihatnya dari bagian kaca cerminku yang buram. Aku menjauhi kebaikan itu karena aku tak tahu yang kulihat adalah efek dari cermin diriku yang rusak. Apapun yang kulihat pantulannya melalui bagian diriku yang rusak itu adalah kejelekan semata.

Aku mulai  melihat cerminku lebih seksama. Meneliti setiap detail bagiannya. Banyak yang buram, tergores, retak, mlengse, kotor, berdebu. Pantas saja aku sulit melihat dunia dengan jernih, pantas saja aku suka menyalahkan orang lain, pantas saja aku merasa lebih benar, pantas saja aku tak bisa membedakan mana benci mana kritik, pantas saja aku  bisa  memfitnah dengan cara seolah bertanya,  pantas saja aku berani membela agama dengan cara yang subhat, bahkan dengan metode yang didukung dan diridhoi setan dan hawa nafsu.

Cerminku buruk rupa. Aku tersesat walau telah kubaca ihdinas shiratal mustaqim minimal 17 x sehari sebab aku lebih banyak melihat dan menilai dari cermin hati yang buram, berdebu, penuh goresan dan retakan.

Kini kutahu kenapa harus baca ihdinashiratalmustaqim tiap hari. Karena aku sangat cenderung sesat dan salah hampir di setiap tarikan napasku.


Posting Komentar

0 Komentar