![]() |
Aku dalam balutan tawa, bersama anak biologisku |
Medsos terkadang membuat seseorang ingin menampilkan diri yang tidak otentik. Sebagian bersembunyi di balik lapisan riasan, filter yang mengubah wajah menjadi begitu berbeda dan tampak lebih cantik atau tampan, menyembunyikan kerutan² di wajah. Kita terkadang mendengar orang berhutang atau menipu demi membiayai kegiatan yang tampak wah dan menarik demi konten. Kita tahu ada orang-orang mau dibayar untuk tidak menjadi dirinya – misalnya, dibayar untuk bertindak bodoh.
Kita berusaha memakai versi standar hidup, penampilan, dan prinsip yang berdasarkan ide orang lain, ide-ide yang bersumber dari nafsu, ide-ide yang memuat hasrat untuk mendapatkan uang via komodifikasi apa saja. Kita memperbaiki hal-hal yang sebenarnya tak rusak, memburu beberapa hal yang sebetulnya bukan kebutuhan, menjaga ilusi atau waham dengan sibuk mencari validasi dari orang lain, sambil mengabaikan satu-satunya hal yang paling pantas kita rawat: Jiwa atau hati kita.
Bagaimana kita bisa berharap orang lain benar-benar menghargai atau mencintai kita jika kita sendiri tak bisa menghargai dan mencintai diri kita sendiri yang otentik?
Mengubah penampilan bukanlah bukti percaya diri; itu hanyalah topeng. Mencari-cari validasi atau pengakuan dari orang lain bukanlah bukti bahwa kita layak untuk dihargai. Di tengah masyarakat yang terobsesi dengan filter, filler, dan kepura-puraan, yang menjebak kita dalam ilusi, jati diri kita yang sebenarnya perlahan menjadi samar dan bahkan tak kelihatan sama sekali. Jati diri kita tertindas oleh hasrat-hasrat yang tidak otentik, hal-hal yang bukan diri yang sebenarnya, dijajah oleh keinginan-keinginan yang bukan kebutuhan. Hati belum merdeka dari penjajahan semacam ini.
Mungkin kita perlu berhenti sejenak. Merenungkan kembali apa yang bisa dilakukan untuk menemukan kembali jati diri sebagai manusia dan hamba Tuhan, untuk menemukan kembali kemerdekaan pada dimensi yang selama ini kerap kita lupa secara sengaja atau tidak sengaja: merdeka dari apapun selain Allah. Problem masyarakat modern ini muncul karena, dengan memparafrasekan kata-kata Gus Baha', "hati kita tak selalu sepenuhnya hadir bersama Allah."
#dirgahayuindonesia
0 Komentar