Sejenak Menyeka Ego

 

Dalam Islam memang tidak ada istilah "karma" meski apa yang diistilahkan hukum "tabur-tuai" itu  memang ada dalam ajaran agama apapun. Dalam Qur'an dikatakan siapa yang berbuat kebaikan atau kejahatan sebesar atom pun akan dapat ganjarannya.

Sebenarnya peringatan ini sudah cukup untuk membuat kita hati-hati dalam berbuat dan berucap. Sudah banyak kejadian yang membuka mata kita bagaimana ngunduh wohing pakarti ini terjadi. Orang memetik buah lisan dan perbuatannya tidak mesti seketika atau sekaligus. Sering bertahun-tahun kemudian baru memetik hasilnya, kadang tidak sekaligus tetapi dicicil. Kalau yang kita petik kebaikan tentu menyenangkan. Jika sebaliknya, kita tentu susah dan repot.

Terkadang  kita memetik buah berupa keburukan atas apa yang kita perbuat di masa lalu, namun kita memetik itu dengan menanam lagi keburukan yang lain. Maka hari-hari kita akan diisi dengan kegelisahan dan pasang-surut perasaan yang berubah-ubah tak menentu. Idealnya, jika kita memetik keburukan,  misalnya terkena sakit, kena tipu, kena masalah dan sejenisnya, kita memandangnya sebagai tanda dari Tuhan agar kita berhenti sejenak, introspeksi diri, jangan-jangan di masa lalu kita pernah salah kepada Tuhan, melakukan kesalahan kepada teman, guru, kyai, istri/suami  orang lain,  dan sebagainya.

Masalah, susah, sakit, gelisah, hati tak tenang, adalah utusan dari Tuhan yang mengajak kita berhenti, setidaknya sejenak,  untuk menengok diri sendiri, agar kita tidak selalu menengok orang lain dan menghakimi mereka sampai lupa menilai diri sendiri.

Hidup itu dinamis. Ada masanya berjalan, ada masanya berlari, ada masanya bergerak, ada masanya berhenti. Ada masanya mengambil, ada masanya membuang. Ada masanya mempertahankan dan ada masanya melepas. Sikap ngotot hanya membuat hidup mudah tegang, stres dan cenderung marah.

Dalam memperhatikan dan mencari akar dari munculnya perasaan-perasaan itu, satu per satu topeng yang kita gunakan untuk menjaga citra diri di mata kita sendiri akan lepas, dan kita akan melihat seperti apa sebenarnya kualitas diri ini; kita akan melihat kepada siapa selama ini hati dan pikiran diarahkan dan menjadi budaknya tanpa kita sadari. Mungkin kita akan terkaget-kaget ketika Tuhan berkenan memperlihatkan kualitas sesungguhnya dari jiwa  ini kepada diri kita sendiri.

Mungkin awalnya terasa ga enak, menakutkan, berat,  saat dibukakan kesadaran tentang diri sendiri; barangkali kita akan mulai mencela diri sendiri, atau mengeluh dari hari ke hari, atau sampai bertahun-tahun tergantung pada mujahadah kita dalam memperhatikan dan memperbaiki jiwa sampai kita tak tahu lagi ke mana mengeluh selain   menghadap dan berharap  kepada-Nya dengan segala rasa tanpa daya dan air mata, sampai diri bisa bilang sami'na wa atha'na yakni lisanul haal (lisan dari jiwa rohani) yang bilang, bukan hanya ucapan atas dasar pengetahuan belaka, sebab jika cuma bersumber dari pikiran yang dikeluarkan via lisan di mulut  semua orang tentu bisa bilang pasrah dan ikhlas.

Lepasnya topeng-topeng diri yang kita bangun dengan ilmu, pikiran dan ego/nafsu seakan menjadi  pintu awal  untuk mengenali diri, sebagai permulaan untuk mengubah ke mana kita mesti mengarahkan pandangan hidup dan rasa cinta, sebelum izrail menyapa.


Posting Komentar

0 Komentar