Butuh Keheningan Sejenak...

 

Aku pernah membaca sebuah tulisan yang lupa sumbernya. Maknanya kurang lebih begini:

"Pernahkah engkau merasakan keheningan yang mengagumkan menjelang subuh? Atau betapa mendebarkan kesunyian suasana ketika badai telah berhenti? Atau mungkin engkau merasakan kesunyian yang ganjil di pikiran sekaligus hati ketika engkau tak bisa menjawab sebuah pertanyaan dari seseorang? Pernahkah kau mengalami situasi saat kalian dan teman-teman asyik berbincang, lalu semuanya mendadak diam, menciptakan situasi sepi yang hampa, ketika tiba-tiba ada seseorang masuk ke ruangan? Atau pernahkah saat sendirian di rumah pada malam hari  engkau merasakan situasi yang sepi yang begitu tajam setelah suara dari pintu yang kau tutup menghilang? Masing-masing situasi atau perasaan sepi/sunyi/hening adalah berbeda-beda jika kita mendengarkan kesunyian itu dengan seksama dan penuh perhatian."

Orang yang menulis tersebut menunjukkan kepada kita  hal kecil yang sering kita remehkan: Setiap situasi dan rasa sunyi/hening membawa pesan sendiri-sendiri kepada bagian dari diri kita yang amat penting: "rasa dan perasaan."

Sunyi yang dimaksud bukan berarti kita sendiri. Orang yang menyendiri dan khusyuk dengan media sosial di HP nya boleh jadi sedang tenggelam dalam keramaian di pikirannya. Orang menulis status, kita membaca, baca komentar-komentar : ada status yang mengejek, menyindir, ada tanggapan yang serupa. Kita yang membaca merasakan keramaian dalam tulisan di benak kita. Lalu timbul "rasa" senang, "perasaan" gembira ketika kita mengamini ejekan misalnya; timbul rasa sedih dan perasaan susah ketika ada yang tidak kita suka, bahkan perasaan marah dan jengkel. Lalu kita bergerak membalas.

Sebenarnya apa yang terjadi? Mungkin kita sebenarnya membaca hawa nafsu yang bersliweran di media sosial. Kita menanggapinya dengan hawa nafsu pula. Maka dalam diri kita "ramai sekali" suara-suara hawa nafsu, suara pikiran yang merancang tulisan untuk membalas, suara penglihatan yang menjadi awas mencari kesalahan orang lain.

Kita tenggelam dalam keramaian saat sendiri. Kita mendengar suara-suara nafsu itu dengan telinga nafsu pula, membuat kategori-kategori berdasarkan nafsu yang melahirkan prasangka. Ujung-ujungnya, banyak yang ingin agar hawa nafsunya didengar. Kalau kita tidak pernah belajar meneliti bagaimana dan seperti apa "rasanya" dan "perasaan" hawa nafsu itu, kita menjadi tak kenal. Hawa nafsu menipu pikiran, dan pikiran bergerak mencari justifikasi untuk membenar-benarkan suara hawa nafsu itu. Mengenal tanda hawa nafsu tidak cukup. Kita juga harus merasakan bagaimana hawa nafsu itu berdesir dalam batin kita. Kalau sekadar mengenal tanda, kita justru cenderung ditipu oleh nafsu kita sendiri untuk menyalahkan-nyalahkan orang lain tanpa mau disalahkan.

Bagaimana kita bisa mengendalikan hawa nafsu dalam diri bila kita tidak mengenalinya, tidak merasakan gerak dan desirnya yang merambat ke dalam hati, lisan pikiran, perbuatan, penglihatan dan pendengaran? Sementara kita masih dipancing untuk berdebat pada persoalan yang sebernarnya tidak menjadi ranah kita untuk memikirkannya. Lalu persoalan yang di pelupuk mata kita abaikan begitu saja.

Bentuk keheningan sederhana yang saya lakukan adalah keluar dari grup WA yang unfaedah. Walau hanya sekedar remeh temeh, namun itu berujung pada kedamaian hati dengan menghindari segala perdebatan yang unfaedah pula.

Posting Komentar

0 Komentar