Tentang 'Keinginan'




Kita sering mengulang-ulang kata bijak "berharap hanya kepada Tuhan." Tetapi terkadang ketika harapan kita tak tercapai, kita kecewa, atau kadang sakit hati, atau kadang mutung.

Persoalannya adalah terkadang orang menggunakan kata bijak hanya untuk menghibur diri, tidak untuk direnungkan, dikaji dan diamalkan. Sehingga sebagian orang terkadang bersikap dan bertindak secara berkebalikan dengan kata-kata bijak yang sering dia baca dan disebar-sebarkan.

Orang terkadang lupa di mana mesti menempatkan harapan itu. Kalau itu diletakkan di pikiran, sementara hati justru berharap penuh agar keinginannya tercapai maka  niscaya akan timbul kekecewaan mendalam. Sebab, dalam kondisi semacam itu, hakikatnya ia berharap pada ekspektasinya sendiri dan menempatkan Tuhan agar memenuhi ekspektasinya. Bila ekspektasi tak terpenuhi, hati menjadi kecewa, walau pikiran tahu bahwa harapan mestinya hanya pada Tuhan. Ia lupa bahwa hatinya sebenarnya menghadap ke ekspektasinya sendiri, bukan ke Tuhan. Maka saat keinginannya tak terwujud, timbul kecewa. Namun ia tak berani menyalahkan Tuhan. Ia perlu melampiaskan kekecewaannya kepada siapa saja yang membuatnya merasa kecewa: orang lain, situasi, kondisi dan sebagainya.

Jadi, yang melukai hati atau mengecewakan hati sebenarnya keinginan dan ekspektasinya sendiri. Keinginan biasanya, meski tak selalu, muncul dari sifat dan hawa nafsu. In the final analysis, nafs kita sendiri yang sebenarnya menyakiti "diri" kita sendiri, inni kuntu minadhalimiin...

Kekecewaan yang ditahan-tahan akan tumbuh menjadi kebencian yang halus dan sewaktu-waktu akan meledak bila ada pemicunya.  Itu karena diri merasa paling tahu apa yang terbaik bagi dirinya, terbaik bagi orang lain dan terbaik bagi keadaan. Diam-diam diri meletakkan diri pada situasi "superhuman", manusia yang selalu lebih unggul daripada manusia lain. Biasanya, namun tidak selalu, orang semacam ini agak sulit menghargai kemanusiaan, mudah marah atau kecewa jika ekspektasinya tak tergayuh, dan mudah menyimpan dendam.

Keinginan manusia selalu ada dan nyaris tak ada habisnya. Mustahil menghilangkan keinginan. Bahkan ingin untuk tidak menginginkan apapun juga termasuk keinginan. Dan setiap keinginan pasti ada konsekuensi yang harus dijalani, ada masalah yang harus diselesaikan. Engkau ingin kaya? Ada banyak aktivitas dan masalah yang harus dihadapi dalam mencari kekayaan. Engkau ingin minum? Engkau harus bergerak ambil minuman.

Bahkan dalam keinginan pun sering melahirkan keinginan, dan menimbulkan lebih banyak masalah dan upaya. Engkau ingin makan, misalnya. Lalu muncul keinginan makan makan bakso. Lalu muncul keinginan makan di warung A, atau bikin bakso sendiri.
 
Engkau ingin tenang? Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar hati tenang: mengendalikan pikiran, menata hati, berbuat sesuatu, dan sebagainya.

Tanpa kita sadari, karena mungkin kita jarang menengok ke dalam diri secara jujur, sebagian besar kesusahan dan penderitaan kita adalah akibat dari keinginan kita yang kadang terlalu banyak, terlalu idealis, terlalu muluk-muluk dan terutama karena dari keinginan untuk memaksakan agar keinginan terwujud, seolah kita bisa mengatur hidup sesuai keinginan kita.

Namun pada akhirnya, seiring usia bertambah, keinginan manusia yang sadar diri biasanya akan semakin sederhana. Karena itu, orang tua yang arif selalu mengajarkan agar urip sakderma nglakoni, belajar menjadi manusia yang biasa saja, agar terbiasa menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia.

Sekarang, bila tak semua keinginan terwujud dan bahkan keinginan yang terwujud itu pun akan  hilang juga, pertanyaannya adalah: apa sebenarnya keinginan dan harapan yang paling hakiki itu? Ingin kaya? Ingin tenang? Atau ingin (ridha) Tuhan?
 
Apapun keinginan kita, selalu ada konsekuensi dan sesuatu yang harus dikorbankan. Kita tentu berharap pengorbanan atau ikhtiar tidak sia-sia. Karenanya, sebelum kita mati,  pada dasarnya kita bisa memilih :  menginginkan sesuatu yang akan hilang atau kita tinggalkan kelak,  atau memilih menginginkan sesuatu yang tidak akan pernah hilang?

Wa Allahu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar