Apakah Hatimu Tentram Karena Ghibah?


Sebuah pesan singkat saya terima melalui WhatsApp, "Jangan mencampuri takdir orang lain." Mungkin barangkali, nasihat pendek ini berkaitan dengan dawuh kanjeng Nabi,  "tinggalkan perkara yang tidak bermanfaat."

Pada mulanya kupikir ini hanya berkaitan dengan soal kepo berlebihan, mencampuri urusan orang lain, ghibah, dan yang sejenisnya. Namun belakangan kami tahu ada makna dzauqiyah (rohani) dalam anjuran ini.

Orang hatinya tidak tenang atau tentram bukan hanya karena turut campur atau mulutnya mengghibah orang lain, mengomentari dan membahas kejelekan orang, tetapi juga karena hati dan pikirannya diam-diam "merasa" senang dengan melakukan hal itu. Tentu saja, sebagian orang, termasuk diriku, akan merasa senang dan asyik saat membicarakan orang lain, apalagi jika berkaitan dengan keburukan atau kejanggalan. Itu sebabnya infotainment sering diisi dengan gosip, entah skandal cinta, perselingkuhan, soal baru 3 minggu kawin kok hamil 3 bulan, dan seterusnya. Betapa semangatnya kita membahasnya. 

Tetapi bagaimana bisa kegiatan ghibah, misalnya, yang menyenangkan itu bisa menyebabkan hati tak tentram? 

Hati senang kadang bukan karena tenang, namun kadang karena hati gelisah dengan diri sendiri. Kegelisahan adalah isyarat halus bahwa ada yang keliru dalam  batin kita. Namun kita enggan menengok ke diri, karena ego sering enggan untuk mengaku salah apalagi mengaku punya keburukan. Pikiran mudah saja ngomong ngaku buruk namun hati yang egois tidak semudah itu mengaku. Contohnya , "iya, saya juga banyak dosanya, tapi kan bla bla bla..." Ego seolah hendak memaklumi dosanya dengan menunjukan dosa orang lain yang dia anggap lebih besar. Yang terjadi malah ego merasa pongah  karena menganggap dosanya lebih kecil. Padahal kepongahan atau sombong adalah induk segala dosa. 

Maka ia lalu mencari kesenangan yang diperoleh saat ghibah. Sebab, saat membicarakan keburukan orang lain, kita bisa sejenak lupa pada keburukan diri sendiri. Bayangkan jika ghibah menjadi hobi. Itu seperti latihan menguatkan otot egoisme. Lama-lama batin tidak peka pada gerak-gerik batin. Saat indera batin tumpul, sifat tercela bersama nafsu-syahwat naik dan terciptalah hijab batin. 

Itu sebabnya karena hati tak peka, ada orang yang tidak memperoleh kelezatan saat salat, ngaji, atau zikir. Ibadahnya mungkin benar  namun hanya jadi rutinitas atau bahkan dimanfaatkan untuk tujuan selain Allah. Bisa jadi orang rajin shalat, namun hati menderita berlama-lama karena dikhianati cinta, misalnya. Ia memendam amarah karena tahu marah tidak baik. Tetapi lama-lama marahnya melesak ke dalam dan menjadi dendam batin. Ia mudah marah pada sesuatu yang mengingatkannya pada luka hati, dan mudah mengghibah orang lain yang dia lihat keburukannya mirip keburukan yang pernah melukai hatinya.

Tanpa mengenal akar kegelisahan, lingkaran setan ini tidak akan rampung. Dia akan sulit menerima takdir dengan ridha. Maka secara tak sadar ia suka mencampuri urusan orang lain yang takdirnya dianggap lebih buruk agar diri merasa baik-baik saja, atau mengganggu orang lain yang takdirnya dia anggap lebih baik daripada dirinya agar orang itu merasakan takdir yang sama seperti yang dia  rasa menimbulkan luka hati.

Tidak mencampuri takdir orang lain sejak dalam pikiran dan dalam pandangan hati adalah salah satu kunci memperoleh karunia Tuhan berupa ketenangan hati yang sesungguhnya.


Wa Allahu a'lam

Posting Komentar

0 Komentar