RUMIT DAN SEDERHANA (Sebuah Catatan yang Unfaedah)

 

Kadang di medsos, saat ada bahasan religi, kita sesekali membaca ada komentar yang bernada menyepelekan tulisan atau  kajian yang rumit: "halaah, ora usah kakean ndakik-ndakik" atau "haishh sok akademis, sok nginteleq," dan ungkapan senada.

Di sisi lain, ada juga yang menyepelekan tulisan  sederhana. "Haishh, pengetahuan cuma segitu kok sok tahu," atau "pantes ra maju-maju, dijak mikir sithik we ra gelem, isone mung  ngelokne thok," dan sejenisnya.

Dalam dua ungkapan yang bertolak-belakang itu, secara tekstual dan jika dibahas secara keilmuan,  dua-duanya ada benarnya, ada salahnya. Tetapi pernahkah, saat membaca ungkapan itu, engkau memperhatikan apa yang muncul di dalam perasaanmu? Ketika engkau membaca atau mendengar perkataan yang ditujukan kepada orang lain, bukan  kepada dirimu, misal  "ora usah ndakik-ndakik," atau "diajak mikir ae angel," apa rasa yang muncul dalam hati kita: Senang? Jengkel?

Rasa yang muncul itu sebenarnya menunjukkan apa yang sesungguhnya tersimpan dalam hati, sesuatu yang tertimbun oleh pikiran dan ilmu. Orang sering tak memperhatikan rasa yang melintas halus itu.

Sekarang, misalnya, engkau senang  dan setuju ketika ada orang meremehkan pemikiran yang rumit, atau engkau sendiri yang merasakan rasa sinis terhadap  kajian rumit, maka rasa senang atau sinis itu bersumber dari mana? Apakah engkau merasa lebih tahu daripada orang yang mengkaji dengan mendalam? Atau, engkau sinis hanya karena engkau tidak mampu memahami pemikiran yang mendalam? Atau dari sumber mana lagi rasa senang meremehkan dan sinis itu?

Sebaliknya, saat muncul rasa merendahkan dan sinis pada  orang yang memberi pelajaran dengan cara  dan bahasa sederhana, dari mana sumber munculnya rasa-rasa itu? Merasa lebih tahu? Merasa lebih pintar? Atau dari mana?

Jika engkau bisa menemukan akar dari rasa itu, engkau akan menemukan sifat-sifat dan nafsu-nafsu dirimu yang tak tampak melalui lensa pikiran dan ilmu. Pada orang yang tekun mengolah rasa itu, rumit dan sederhana bukan lagi masalah karena mata batin mereka melihat urusan rumit dan sederhana sebagai cermin untuk melihat ke dalam dirinya sendiri guna mencari kesalahan dan aib diri yang mungkin tak bisa ia lihat melalui pikiran dan ilmunya.

Pada skala makro, mereka melihat apa saja kejadian di dunia yang terlintas di hadapannya sebagai cermin atau tanda yang menunjukkan siapa diri kita, karenanya mereka mengatakan jagad gede ada dalam jagad cilik dan vice versa (baca : sebaliknya). Maka mereka selalu sibuk dengan rohaninya sendiri, sering sekali menyaksikan kesalahan dan aibnya sendiri, sehingga semakin sulit atau tak sempat lagi memperhatikan aib dan kesalahan orang lain, apalagi mencari-cari salah.

Rumit dan sederhana, pandai dan bodoh,  siang dan malam, senang dan susah, sehat dan sakit, dan semua hal lain yang tampak berbeda, di mata orang yang selalu berjalan ke dalam dirinya sendiri akan tampak sama, sebab semuanya adalah tanda yang dianugerahkan Tuhan untuk menunjukkan, melalui rasa rohani kita,  siapa sesungguhnya diri kita  itu.

Tuhan dalam salah satu firmanNya yang berkaitan dengan relasi rahasia antara alam  dan apa yang ada dalam diri manusia, bertanya kepada hambaNya, yang kurang lebih begini maknanya:  "dan DI BUMI  terdapat AYAT-AYAT (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan juga DI DALAM DIRIMU sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?"

Ah, entahlah... Mungkin aku yang rumit, atau kamu yang terlalu sederhana.

Posting Komentar

2 Komentar