Dari Manakah Kenyamanan Hidup Itu?



Ada masa-masa saya kadang mengeluhkan keadaan, tidak jarang menyalahkan hal-hal di luar diri sebagai sumber ketidaknyamanan hidup. Mulai dari mediasosial yang isinya gitu-gitu aja. Mulai dari dapat pesan sms tiba-tiba dari nomor yang gak dikenal menawarkan pinjaman, promo dari operator maupun pemberitahuan untuk mendaftar ulang kartu seluler padahal sudah melakukan registrasi. Juga pesan whatsapp, terutama group whatsapp, yang bikin hidup menjadi tidak nyaman.

Lalu, saya mulai mengubah pikiran. Selama rasa 'bahagia' atau 'nyaman' selalu dipengaruhi oleh situasi luar, hidup saya tidak akan pernah merasa bahagia, tidak akan merasa nyaman.

Tetapi bukankah ke manapun kita pergi, akan selalu ada hal yang tidak membuat kita nyaman? Sekarang mungkin saya masih bisa begadang, cangkrukan, gaple, ngopi maupun hal lain yang membuat saya merasa mak plong.  Tetapi akan tiba suatu masa saya pasti sakit, entah perut mules, sirah mumet maupun kelingking kaki kejedot pintu. Hidup jadi tidak nyaman. Sebagian kesenangan dan kenyamanan hilang. Belum lagi masalah atap rumah bocor saat hujan atau tembok rumah usang dimakan cuaca. Jadi pusing karena keluar duit buat membenahi. Motor kadang rusak dan harus diperbaiki. Atau istri cemberut karena terlambat setor uang belanja. Di musim panen, serangga sawah pada datang ke rumah. Apalagi saya yang rumahnya memang mewah, mepet sawah. Belum lagi kalau malam hari, tiba-tiba nyamuk-nyamuk berdatangan. Sungguh mengganggu!

Kita lari dari satu ketidaknyamanan untuk bertemu dengan ketidaknyamanan lainnya. Misal kita hapus aplikasi whatsapp namun jadi repot karena banyak teman jadi susah kontak. Kudu pake alternatif ini dan itu. Repot diri dan merepotkan orang lain.  Bukankah begitu Ferguso?? hehe...

Akhirnya saya mulai belajar menerima, secara mental maupun spiritual. Hehe. Secara mental saja ga cukup karena mental bukan unsur dasar manusia. Ada unsur yang lebih halus yang juga harus dididik untuk ingat kembali hakikatnya, sebagai entitas yang pada dasarnya menerima, sumeleh, nrima ing pandum. Saya mulai dari hal sehari-hari. Sulit ternyata, terutama karena harus jujur pada diri sendiri. Misal, kalau buka group whatsapp, sedikit saja timbul rasa ga nyaman, sebal, jengkel, berarti ada masalah di diri saya. Tentu saya bisa melarikan diri dengan left group, atau bahkan uninstall. Tetapi sebenarnya saya tidak menyelesaikan masalah di batin saya. Saya hanya lari. Mencari hal-hal yang menyenangkan dan menenangkan saja tanpa melakukan muhasabah pada batin mengapa saya kok kesal cuma gara-gara situasi.

Salah seorang yang kepadanya saya belajar, pernah menyarankan bahwa kalau belajar hidup via hal-hal yang kita sukai itu mudah. Walau tentu banyak manfaatnya namun itu belum cukup untuk belajar nrima ing pandum, belajar semeleh, pasrah atau belajar islam dalam maknanya yang paling mendasar. Kekurangan diri kita sering ditampakkan oleh Allah ketika menjumpai hal yang tak kita senangi: apapun yang bergejolak di hati, pikiran dan perbuatan saat kita bertemu hal yang kita ga suka, disitulah Allah sebenarnya memperlihatkan kekurangan dan kebobrokan hati kita, dan disitu juga sebenarnya Allah selipkan obatnya. Asal kita mau belajar muhasabah dan berani jujur pada diri sendiri. Secara teori, kalau kita tiap hari atau bahkan tiap tarikan nafas melakukan ini, maka kita akan seperti "bertapa di tengah keramaian" karena kita sibuk dengan diri sendiri, yang berarti juga sibuk dengan Allah, sehingga pada level tertentu kita diperkenankan melihat siapa sesungguhnya diri ini. Ini akan menjadi awal bagi masuknya diri ke ruang penerimaan, ketundukan, sumeleh. Kalau sudah begini, kebahagiaan dan kenyamanan tak lagi bergantung pada situasi luar.

Menjalankan teori itu yang berat, bisa berhari-hari, bisa bertahun-tahun, bisa seumur hidup, apalagi jika tidak punya rujukan atau mursyid yang benar. Karenanya jumlah ulama yang arif atau wali Allah tidak pernah banyak. Bagaimana nasib kita? Tak perlu khawatir. Allah itu Rahmat dan pertolonganNya tanpa batas. Kadang kita sendirilah yang sok-sokan membatasi rahmatNya dengan prasangka buruk kepada Allah, kepada manusia dan kepada hal-hal yang tidak kita sukai.

Posting Komentar

0 Komentar