Qishash, Diyat dan Kaffarah



I. QISHASH

a.    Pengertian qishash

Qishash berasal dari kata qashasha yang artinya memotong atau berasal dari kata iqtashsho yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat sebagai pembalasan atas perbuatannya. Menurut syara’ qishash ialah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.


b.    Macam-macam qishash
Berdasarkan pengertian di atas maka qishash dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Qishash pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunuh).
2. Qishash anggota  badan  (yang merupakan hukuman  bagi  pelaku  tindak pidana melukai, merusak atau menghilangkan  fungsi anggota badan).


 
c.    Hukum Qishash

Hukuman mengenai qishash ini, baik qishash pembunuhan maupun qishah anggota badan, dijelaskan dalam al -Qur’an surat Al Maidah: 45:

Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasannya  jiwa  (dibalas)  dengan  jiwa,  mata  dengan  mata,  hidung  dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada qishashnya. Barang siapa melepaskan ( hak qishashnya ) akan melepaskan hak itu ( menjadi ) penebus dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al- Maidah : 45 )

d.    Syarat-syarat Qishash

Hukuman qishash wajib dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut:
1.   Orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang yang benar-benar baik).
Jika seorang mukmin membunuh orang kaϐir, orang murtad, pezina yang sudah menikah, ataupun seorang pembunuh, maka dalam hal ini hukuman qishash tidak berlaku. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Tidak dibunuh seorang muslim yang membunuh orang kafir.” ( HR. Al- Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir tidak dihukum qishash. Pun demikian, harus dipahami bahwa orang kafir terbagi menjadi dua; pertama; kafir harbi, dan kedua; kafir dzimmi.
•    Kafir harby adalah kafir yang melakukan tindak kedzaliman kepada kalangan muslimin hingga sampai pada tahapan “memerangi”. Seorang muslim yang membunuh kaϐir ini tidak diqishash dan tidak dikenai hukuman apapun.


•    Kafir dzimmi adalah kafir yang berada di bawah kekuasaan penguasa muslim dan berinteraksi secara damai dengan kalangan muslimin. Penguasa muslim berhak menghukum seorang muslim yang membunuh kafir dzimmi. Semakin jelas disini, bahwa pada prinsipnya seorang muslim harus menghargai siapapun, termasuk juga kalangan non muslim, selama mereka tidak berniat menghancurkan dinul Islam dan mendzalimi kalangan muslimin.

2.   Pembunuh sudah baligh dan berakal, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya: “Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda: terangkat hukum (tidak kena hukum) dari tiga orang yaitu; orang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewaasa, dan orang gila hingga ia sembuh dari gilanya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

3.   Pembunuh bukan bapak (orang tua) dari terbunuh
Jika seorang bapak (orang tua) membunuh anaknya maka ia tidak di-qishash. Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Tidak dibunuh seorang bapak (orang tua) yang membunuh anaknya.” (H.R. Ahmad dan al-Tirmidzi)

Umar bin Khattab dalam satu kesempatan juga berkata:
Artinya: “Aku pernah mendengar Rasulullah  saw bersabda : Tidak boleh bapak (orang tua) diqishash karena sebab ( membunuh ) anaknya.” (HR. Tirmidzi).

Dalam  hal  ini  hakim  berhak  menjatuhkan  hukuman  ta’zir  kepada  orang tua tersebut, semisal mengasingkannya dalam rentang waktu tertentu atau hukuman lain yang dapat membuatnya jera.

Adapun jika seorang anak membunuh orang tuanya maka ia wajib dihukum qishash.

4. Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh, seperti muslim dengan muslim, merdeka dengan merdeka dan hamba dengan hamba. Allah berfirman:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita." (QS. Al-Baqarah : 178 )

5. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, mata dengan mata,  dan  lain  sebagainya.  Sebagaimana  firman Allah  Swt.  dalam  surat al-Maidah ayat 45 yang telah kita bahas kandungan umumnya pada halaman sebelumnya:
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukiapun ada qishashnya.” (QS. Al-Maidah: 45 ).

e.  Hikmah Qishash

Hikmah yang dapat dipetik bahwa Islam menerapkan hukuman yang sangat menjaga serta menjaga kehormatan dan keselamatan jiwa manusia. Pelaku perbuatan  pembunuhan  diancam    dengan  qishash  baik  yang  terkait  pada al-jinayat  ‘alan  nafsi  (tindak  pidana  pembunuhan)  ataupun  al-jinayah  ‘ala ma dunan nafsi (tindak pidana yang berupa merusak anggota badan ataupun menghilangkan fungsinya) akan menimbulkan banyak efek positif. Yang terpenting diantaranya adalah:
1. Dapat memberikan pelajaran bagi kita bahwa keadilan harus ditegakkan.
Betapa tinggi nilai jiwa dan badan manusia, jiwa diganti dengan jiwa, anggota badan juga diganti dengan anggota badan.
2. Dapat   memelihara   keamanan   dan   ketertiban.   Karena   dengan   adanya qishash orang akan berfikir lebih jauh jika akan melakukan tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan. Di sinilah qishash memiliki peran penting dalam menjauhkan manusia dari nafsu membunuh ataupun menganiaya orang lain, hingga akhirnya manusia akan merasakan atmosfer kehidupan yang penuh dengan keamanan, kedamaian dan ketertiban.
3. Dapat mencegah pertentangan dan permusuhan yang mengundang terjadinya pertumpahan darah. Dalam konteks ini qishash memiliki andil besar membantu program negara dalam usaha memberantas berbagai macam praktik kejahatan, sehingga ketentraman dan keamanan masyarakat terjamin. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
Artinya: “Dan dalam qishash itu ada jaminan (kelangsungan hidup bagimu), hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 179 ).




II.  DIYAT

a. Pengertian Diyat

Diyat secara bahasa diyat yaitu denda atau ganti rugi pembunuhan. Secara istilah diyat merupakan sejumlah harta yang wajib diberikan karena tindakan pidana (jinayat) kepada korban kejahatan atau walinya atau kepada pihak terbunuh atau teraniaya. Maksud disyariatkannya diyat adalah mencegah praktik pembunuhan atau penganiayaan terhadap seseorang yang sudah semestinya mendapatkan jaminan perlindungan jiwa.


b. Sebab-sebab Ditetapkannya Diyat

Diyat wajib dibayarkan karena beberapa sebab berikut;
1. Pembunuhan sengaja yang pelakunya dimaaϐkan pihak terbunuh (keluarga korban). Dalam hal ini pembunuh tidak diqishash, akan tetapi wajib baginya menyerahkan diyat kepada keluarga korban.
2. Pembunuhan seperti sengaja.
3. Pembunuhan tersalah.
4. Pembunuh lari, akan tetapi identitasnya sudah diketahui secara jelas. Dalam konteks semisal ini, diyat dibebankan kepada keluarga pembunuh.
5. Qishash sulit dilaksanakan. Ini terjadi pada jinayat ‘ala ma dunan nafsi (tindak pidana yang terkait dengan melukai anggota badan atau menghilangkan fungsinya).

c. Macam-macam Diyat

Diyat dibedakan menjadi dua yaitu:

1.   Diyat Mughalladzah atau denda berat
Diyat mughaladzah adalah membayarkan 100 ekor unta yang terdiri :
-    30 hiqqah ( unta betina berumur 3-4 tahun )
-    30 jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun )
-    40  unta khilfah ( unta yang sedang bunting ).


Yang wajib membayarkan diyat mughaladzah adalah:
a. Pelaku   tindak   pidana   pembunuhan   sengaja   yang   dimaafkan  oleh keluarga korban. Dalam hal ini diyat harus diambilkan dari hartanya dan dibayarkan secara kontan sebagai pengganti qishash.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, (hukumannya) harus menyerahkan diri kepada keluarga korban, jika mereka menghendaki dapat mengambil qishash, dan jika mereka tidak menghendaki (mengambil qishash) , mereka dapat mengambil diyat berupa 30 hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun), 30 jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun ) dan unta khilfah (unta yang sedang buntin )” (HR. at-Tirmidzi)

b. Pelaku pembunuhan seperti sengaja. Diyat mughaladzah pada kasus pembunuhan seperti sengaja ini dibebankan kepada keluarga pembunuh dan diberikan kepada keluarga korban dengan cara diangsur selama tiga tahun, setiap tahunnya dibayar sepertiga.
c. Pelaku  Pembunuhan  di  Tanah  Haram  (Makkah),  atau  pada  asyhurul hurum (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah), atau pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap mahramnya.


2.  Diyat Mukhaffafah atau denda ringan
Diyat mukhaffafah yang dibayarkan kepada keluarga korban ini berupa 100 ekor unta, terdiri dari
• 20 unta hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun),
• 20 unta jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun),
• 20 unta binta makhadh ( unta betina lebih dari 1 tahun),
• 20 unta binta labun (unta betina umur lebih dari 2 tahun), dan 20 unta ibna labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun).


Yang wajib membayarkan diyat mukhaffafah adalah:
a.  Pelaku  pembunuhan  tersalah,  dengan  pembayaran  diangsur  selama  3 tahun, setiap tahunnya sepertiga dari jumlah diyat.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “ Diyat khatha’ diperincikan lima macam, yaitu 20 unta hiqqah, 20 unta jadza’ah, 20 unta binta makhath (unta betina lebih dari 1 tahun), 20 unta binta labun (unta betina umur lebih dari 2 tahun), dan 20 unta ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun) (HR. ad-Daruquthni).

b.  Pelaku  tindak  pidana  yang  berupa  menciderai  anggota  tubuh  atau menghilangkan fungsinya yang dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Jika diyat tidak bisa dibayarkan dengan unta, maka diyat wajib dibayarkan dengan sesuatu yang seharga dengan unta.


d.  Diyat karena kejahatan melukai atau memotong anggota badan
Aturan diyat untuk kejahatan melukai atau memotong anggota badan tidak seperti aturan diyat pembunuhan. Berikut penjelasan ringkasnya:
1. Wajib membayar satu diyat penuh berupa 100 ekor unta, apabila seseorang menghilangkan anggota badan tunggal (lidah, hidung, kemaluan laki-laki) atau sepasang anggota badan (sepasang mata, sepasang telinga, sepasang tangan dan lain-lain). Dalam hadis yang diriwayatkan Jabir, Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Pada (memotong) kedua kaki satu diyat penuh (HR. Abu Dawud dan Lainnya)

Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Pada (memotong) kedua tangan satu diyat penuh (HR. Abu Dawud dan Lainnya)

Kedua riwayat tersebut menegaskan bahwa pelaku tindak pidana pemotongan anggota tubuh tunggal ataupun berpasangan wajib membayar diyat penuh setelah korban atau keluarga korban memaafkannya. Jika korban ataupun keluarga korban tak memaaϐkannya, maka ia diqishash.


2.  Wajib membayar setengah diyat berupa 50 ekor unta, jika seseorang memotong salah satu anggota badan yang berpasangan semisal satu tangan, satu kaki, satu mata, satu telinga dan lain sebagainya. Terkait dengan hal ini Rasulullah bersabda:
Artinya: “Dalam merusak satu telinga wajib membayar 50 ekor unta” (HR. Al- Baihaqi)

3.  Wajib  membayar  sepertiga  diyat  apabila  melukai  anggota  badan  sampai organ dalam, semisal melukai kepala sampai otak.
4.  Wajib membayar 15 ekor unta jika seseorang melukai orang lain hingga menyebabkan kulit yang ada di atas tulang terkelupas.
5.  Wajib membayar 10 ekor unta bagi   seseorang yang melukai orang lain hingga mengakibatkan jari-jari tangannya atau kakinya putus (setiap jari 10 ekor unta).
6.  Wajib membayar 5 ekor unta bagi seseorang yang melukai orang lain hingga menyebabkan giginya patah atau lepas (setiap gigi 5 ekor unta).


Adapun teknis pembayaran diyat, jika diyat tidak bisa dibayarkan dengan unta, maka ia bisa digantikan dengan uang seharga unta tersebut. Ketentuan-ketentuan yang belum ada aturan hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim.


e.  Hikmah Diyat

Hikmah terbesar ditetapkannya diyat adalah mencegah pertumpahan darah serta sebagai obat hati dari rasa dendam keluarga korban terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan.

Kita dapat merasakan hikmah diwajibkannya diyat saat kita menelaah secara seksama bahwa keluarga korban mempunyai dua pilihan. Pertama; meminta  qishash,  kedua;  memaafkan pelaku tindak  pembunuhan  atau penganiayaan dengan kompensasi diyat. Dan saat pilihan kedua dipilih keluarga korban,  maka  secara  tidak  langsung  keluarga  korban  telah  mengikhlaskan apa yang telah terjadi, hati mereka menjadi bersih dari amarah ataupun rasa dendam yang akan dilampiaskan kepada pelaku tindak pembunuhan ataupun penganiayaan.

Walaupun demikian, secara manusiawi rasa sakit hati ataupun dendam tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan diterimanya diyat, tetapi karena keluarga  korban  telah  berniat  dari  awal  “untuk  memaafkan pelaku  tindak pidana” maka dorongan batin itu lambat laun akan menetralisir suasana hingga akhirnya keluarga korban benar-benar bisa memaafkan pelaku tindak pidana setelah mereka menerima diyat.

Sampai titik ini, semakin bisa dirasakan bahwa diyat merupakan media syar’i efektif pencegah pertumpahan darah dan penghilang rasa sakit hati atau dendam keluarga korban terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan.



III.  KAFFARAH

a.  Pengertian kaffarah

Kaffarah yaitu denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji. Kaffarah merupakan asal kata dari kata kufr yang artinya tertutup. Maksudnya, tertutupnya hati seseorang hingga ia berani melakukan pelanggaran terhadap aturan syar’i. Sedangkan secara istilah, kaffarah adalah denda yang wajib dibayarkan oleh seseorang yang telah melanggar larangan Allah tertentu. Kaffarah merupakan tanda taubat kepada Allah dan penebus dosa.


b.  Macam-macam kaffarah

Berikut penjelasan singkat macam-macam kaffarah:

1.  Kaffarah Pembunuhan

Agama  Islam  sangat  melindungi  jiwa.  Darah  tidak  boleh  ditumpahkan tanpa sebab-sebab yang dilegalkan oleh syariat. Karenanya, seorang yang membunuh orang lain selain dihadapkan pada salah satu dari dua pilihan yaitu; diqishash atau membayar diyat, ia juga diwajibkan membayar kaffarah. Kaffarah bagi pembunuh adalah memerdekakan budak muslim. Jika ia tak mampu melakukannya maka pilihan selanjutnya adalah berpuasa 2 bulan berturut-turut. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 92:

Artinya: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (yang terbunuh) dari orang (kaϔir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Basrang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah" (QS.An-Nisa’ : 92).

2.  Kaffarah Dzihar

Dzihar  adalah  perkataan  seorang  suami  kepada  istrinya,  "kau  bagiku seperti punggung ibuku". Pada masa jahiliyyah dzihar dianggap sebagai thalaq. Akan tetapi setelah syariah islamiyyah turun, ketetapan hukum dzihar yang berlaku di kalangan masyarakat jahiliyyah dibatalkan. Syariat Islam menegaskan bahwa dzihar bukanlah thalaq, dan pelaku dzihar wajib menunaikan kaffarah dzihar sebelum ia melakukan hubungan biologis dengan istrinya.

Kaffarah seorang suami yang mendzihar istrinya adalah memerdekakan hamba sahaya. Jika ia tak mampu melakukannya, maka ia beralih pada pilihan  kedua  yaitu  berpuasa  2  bulan  berturut-turut.  Dan  jika  ia  masih juga tak mampu melakukannya, maka ia mengambil pilihan terakhir yaitu memberikan makan 60 fakir miskin.

3. Kaffarah melakukan hubungan biologis di siang hari pada bulan Ramadhan

Kaffarah yang ditetapkan untuk pasangan suami istri yang melakukan hubungan biologis pada siang hari di bulan Ramadhan sama dengan kaffarah dzihar ditambah qadha sebanyak jumlah hari mereka melakukan hubungan biologis di siang hari bulan Ramadhan.

4. Kaffarah karena melanggar sumpah

Kaffarah bagi seorang yang bersumpah atas nama Allah kemudian ia melanggarnya adalah memberi makan 10 fakir miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Jika ketiga hal tersebut tak mampu ia lakukan, maka diwajibkan baginya puasa 3 hari berturut- turut. Dalil naqli terkait hal ini adalah ϐirman Allah ta’ala dalam surat al- Maidah ayat 89.

5. Kaffarah Ila’

Kaffarah Ila’ adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu. Semisal perkataan suami kepada istrinya, "demi Allah aku tidak akan menggaulimu". Konsekuensi yang muncul karena ila’ adalah suami membayar kaffarah ila’ yang jenisnya sama dengan kaffarah yamın (kaffarah melanggar sumpah).

6. Kaffarah karena membunuh binantang buruan pada saat berihram

Kaffarah jenis ini adalah mengganti binatang ternak yang seimbang, atau memberi makan orang miskin, atau berpuasa. Aturan kaffarah ini Allah jelaskan dalam surat al-Maidah ayat 95.


c.  Hikmah Kaffarah

Secara umum, hikmah kaffarah terangkum dalam 3 poin berikut;
1. Manusia benar-benar menyesali pebuatan  yang keliru, telah berbuat dosa kepada Allah dan merugikan sesama manusia.
2. Menuntun manusia agar segera bertaubat kepada Allah atas tindak maksiat yang ia lakukan.
3. Menstabilakan mental manusia, hingga ia merasakan ketenangan diri karena tuntunan agama (membayar kaffarah) telah ia tunaikan.

_________________
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Khairul Umam dan A. Achyar, 1989. Ushul Fikih II, Fakultas Syari’ah, Bandung,
Pustaka Setia. cet. ke-1
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 1997. Pengantar Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 1999.
Pengantar Ilmu Fikih, Semarang: Pustaka Rizki Putra Dasuki, Hafizh. et. al.
1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 4
Departemen Agama, 1986. Ushul Fikih II, Qaidah-qaidah Fikih dan Ijtihad, Jakarta : Depag,
cet. ke-1
Djafar, Muhammadiyah, 1993. Pengantar Ilmu Fikih, Kalam Mulia, cet. ke-2
Dahlan, abdul Aziz, 1999, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve
Firdaus. 2004. Ushul Fikih (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Zikrul Hakim, cet. ke-3
Hanafie. A. 1993. Ushul Fikih. Jakarta : Widjaya Kusuma
Khalaf, Abdul Wahab, 1997. Ilmu uṣūl al-Fikih; Terjemah, Masdar Helmy, Bandung: Gema
Risalah Press, cet. ke-1
Muhammad, Ushul Fikih, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, , cet. ke-3
Munawwir, Ahmad Warson. 2002. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif.
Nasrun Rusli. 1999. Konsep Ijtihad al-Syaukani. Jakarta: Logos.
Nasution, Harun. 1983. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
Rifa’i, Moh, 1979. Ushul Fikih, Jakarta, PT.Al-Ma’arif,
Satria Effendi, M.Zein, 2005. Ushul Fikih, Jakarta, Prenada Media
Syafe’i Rahmat, 1999. Ilmu Ushul Fikih, Bandung : CV Pustaka Setia, cet., ke-2
Syafi’i, Rahmat,. 1999. Ilmu Ushul Fikih. Pustaka Setia : Bandung. & Zaidan, Abdul alKarim, Wahbah, Zuhaeli, 2010. Fikih Imam Syafi’i, Jakarta: Almahera.
Yahya, Muhtar dan Tatur Rahman, 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam,
Bandung: Al Ma’arif,.
Zarkasyi Abdul Salim dan Oman Fathurrohman, 1999. Pengantar Ilmu Fikih-Ushul Fikih,
Zahrah

Posting Komentar

0 Komentar