Pernikahan dalam Islam (1) : Pengertian dan Hukum Nikah



PENGERTIAN DAN HUKUM NIKAH

a. Pengertian Nikah
Kata Nikah (نِكَاحٌ) atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (زَوَاجٌ). Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang  bukan  mahramnya  hingga  menimbulkan  hak  dan  kewajiban  diantara keduanya, dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahannya.

Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan keturunan.


b. Hukum Pernikahan
Pernikahan merupakan perkara yang diperintahkan syari’at Islam, demi terwujudnya kebahagiaan dunia akhirat. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
"....Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja....” (QS. An Nisa: 3)

Rasulullah bersabda :
Artinya:“Dari Anas bin Malik ra. bahwasanya   Nabi SAW memunji Allah dan menyanjungnya, beliau bersabda : “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perampuan, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku (HR. al-Bukhari Muslim).

Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :

1. Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.

2. Sunnah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan).

Sabda Rasulullah :
“Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah, Sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya (HR. Al- Bukhari dan muslim).

3. Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak diwujudkan.

4. Makruh
Hukum  ini  berlaku  bagi  seseorang  yang  belum  mempunyai  bekal  untuk menafkahi keluarganya,  walaupun  dirinya  telah  siap  secara  fisik untuk menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.

5. Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya.

II. PERSIAPAN PELAKSANAAN PERNIKAHAN

a. Meminang atau Khitbah

Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah berlaku di masyarakat. Terkait dengan permasalahan khitbah Allah Swt. berfirman:
“Dan tak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau harus menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu … (QS. Al-Baqarah : 235).

a.1. Cara mengajukan pinangan
-  Pinangan  kepada  gadis  atau  janda  yang  sudah  habis  masa  iddahnya dinyatakan secara terang-terangan.
-  Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal mati suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.

a.2. Perempuan yang boleh dipinang
Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :
- Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri orang.
- Perempuan yang tidak dalam masa ’iddah.
- Perempuan yang belum dipinang orang lain. Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Janganlah salah seorang diantara kamu meminang atas pinangan saudaranya, kecuali peminang sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan ijin kepadanya" (HR.Bukhari dan Muslim).

Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan atau sindiran.

b. Melihat Calon Istri atau Suami

Melihat perempuan yang akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon istri merupakan pendahuluan pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya terwujud keluarga yang bahagia.

Beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang yaitu:
a. Jumhur ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya.
b. Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
c. Imam  Abu  Hanifah  membolehkan  melihat  dua  telapak  kaki,  muka  dan telapak tangan.

Terdapat sebuah riwayat bahwa Mughirah bin Syu’ban telah meminang seorang perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, apakah engkau telah melihatnya? Mughirah berkata “Belum” Rasulullah bersabda:
Artinya: “Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kemesrasaan kamu berdua” (H.R. Turmużi).

III. MAHRAM ATAU PEREMPUAN YANG HARAM DINIKAHI

Mahram adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapun sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sebab Haram Dinikah untuk Selamanya
Dapat dibagi menjadi empat yaitu:

1) Wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab. Mereka adalah:

a) Ibu
b) Nenek secara mutlak dan semua jalur ke atasnya
c) Anak perempuan dan anak perempuannya beserta semua jalur ke bawah
d) Anak perempuan dari anak laki-laki dan perempuannya beserta semua jalur ke bawah
e) Saudara perempuan secara mutlak, anak-anak perempuan dan anak perempuannya anak laki-laki dan saudara perempuan tersebut beserta jalur ke bawah.
f ) Bibi dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya
g) Bibi dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya
h) Anak perempuan saudara laki-laki secara mutlak
i) Anak perempuan anak laki-laki, anak perempuannya anak perempuan beserta jalur ke bawahnya.

Sebagaimana Firman Allah Swt.:
"Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak  perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, (bibi jalur ayah), saudara-saudara perempuan ibu kalian (bibi dari jalur ibu) anak- anak perempuannya saudara-saudara laki-laki kalian, anak-anak perempuannya saudara perempuan kalian" (Q.S. An-Nisā': 23)

2) Wanita-wanita yang haram dinikahi karena pertalian nikah, mereka adalah:

a) Isteri ayah dan Istri kakek  beserta jalur ke atasnya, karena Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisā': 22).

b) Ibu Istri (ibu mertua) dan nenek ibu istri
Anak perempuan istri (anak perempuan tiri), jika seseorang telah menggauli ibunya, anak perempuan istri (cucu perempuan dari anak perempuan tiri), anak perempuan anak laki-laki istri (cucu perempuan dari anak laki-laki tiri), karena Allah SWT berfirman :
Artinya: (diharamkan   atas kalian menikahi) ibu-ibu istri kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri kalian yang ada dalam pemeliharan kalian dari istri yang telah kalian gauli, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kalian mengawininya” (QS.An-Nisā': 23).

3) Wanita-wanita yang haram dinikahi karena susuan. Mereka adalah :

a) Ibu-ibu yang diharamkan dinikahi karena sebab nasab
b) Anak-anak perempuan
c) Saudara-saudara perempuan
d) Para bibi dari jalur ayah
e) Para bibi dari jalur ibu
f ) Anak perempuannya saudara laki-laki
g) Anak perempuannya saudara perempuan.

4) Wanita yang haram dinikahi lagi karena sebab li’an

Li’an adalah persaksian seorang suami sebagaimana berikut, "Aku bersaksi kepada Allah, atas kebenaran dakwaanku bahwa istriku telah berzina." Persaksian ini diulangi hingga 4 kali, kemudian setelahnya ia berkata, "Laknat Allah akan menimpaku seandainya aku berdusta dalam dakwaanku ini."

Bisa disimpulkan bahwa suami yang mendakwa istrinya berzina, dikenai salah satu dari 2 konsekuensi. Pertama; didera 80 kali bila ia tidak bisa menghadirkan saksi. Kedua; li’an, yang dengan persaksian tersebut ia terbebas dari hukuman dera.

Walaupun dengan li’an seorang suami terbebas dari hukuman dera, akan tetapi efek yang diakibatkan dari li’an tersebut, ia harus berpisah dengan istrinya selama-lamanya. Hal ini disandarkan pada hadis Rasulullah Saw.:
Artinya: “Suami Isteri yang telah melakukan li’an (saling melaknat), jika keduanya telah cerai maka tidak boleh berkumpul kembali (dalam ikatan pernikahan) selama- lamanya” (HR. Abu Dawud).

b. Sebab Haram Dinikahi Sementara

Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang wanita tidak boleh dinikahi sementara waktu. Bila sebab tersebut hilang, maka wanita tersebut boleh dinikahi kembali. Sebab-sebab tersebut adalah:
1) Pertalian nikah
Perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan, haram dinikahi laki-laki lain. Termasuk perempuan yang masih ada dalam massa iddah, baik iddah talak maupun iddah wafat.
2) Thalaq bain kubra (cerai tiga)
Bagi seorang laki-laki yang mencerai istrinya dengan thalaq tiga, haram baginya menikah dengan mantan istrinya itu, selama ia belum dinikahi laki- laki lain, kemudian diceraikan.
Dengan kata lain, ia bisa menikahi kembali istrinya tersebut dengan beberapa syarat berikut:
a) Istrinya telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru).
b) Istrnya telah melakukan hubungan seksual dengan suami barunya.
c) Istrinya dicerai suami barunya secara wajar, bukan karena ada rekayasa. 
d) Telah habis masa iddah thalaq dari suami baru.

Allah berfirman:
Artinya:   “Selanjutnya jika suami mencerainya (untuk ketiga kalinya), perempuan tidak boleh dinikahi lagi olehnya sehingga ia menikah lagi dengan  suami lain. Jika suami yang baru telah mencerainya, tidak apa-apa mereka (mantan suami istri) menikah lagi jika keduanya optimis melaksanakan hak masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh Allah SWT” (QS. al-Baqarah : 230).

3)  Memadu dua orang perempuan bersaudara
Diharamkan bagi seorang laki-laki yang masih berada dalam ikatan pernikahan dengan seorang perempuan menikahi beberapa wanita berikut: 
a) Saudara perempuan istrinya, baik kandung seayah maupun seibu
b) Saudara perempuan ibu istrinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu dengan ibu istrinya.
c) Saudara perempuan bapak istrinya (bibi istrinya) baik kandung seayah atupun seibu dengan bapak istrinya.
d) Anak perempuan saudara permpuan istrinya (keponakan istrinya) baik kandung seayah maupun seibu
e) Anak perempuan saudara laki-laki istrinya baik kandung seayah maupun seibu
f ) Semua perempuan yang bertalian susuan dengan istrinya. Allah SWT berfirman:
"Diharamkan bagimu memadu dua orang permpuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau." (QS. An-Nisa : 23)

Pengharaman menikah dengan beberapa wanita di atas juga berlaku bagi seorang laki-laki yang mentalaq raj’i istrinya. Artinya, selama istri yang tertalaq raj’i masih dalam masa ‘iddah, maka suaminya tidak boleh menikah dengan wanita-wanita di atas.

4) Berpoligami lebih dari empat
Seorang laki-laki yang telah beristri empat, haram baginya menikahi wanita yang kelima. Karena syara’ telah menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi maksimal empat orang wanita.

5) Perbedaan agama
Haram nikah karena perbedaan agama, ada dua macam  :
a) Perempuan musyrik, dimana ia haram dinikahi laki-laki muslim
b) Perempuan muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik atau penganut agama selain Islam.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 221
Artinya: "Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang- orang musyrik (dengan wanita muslim) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budah yang mukmin lebih baik daripada orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu."

IV.  PRINSIP KAFAAH DALAM PERNIKAHAN

a. Pengertian kafaah

Kafaah atau kufu artinya kesamaan, kecocokan dan kesetaraan. Dalam konteks pernikahan berarti adanya kesamaan atau kesetaraan antara calon suami dan calon istri dari segi (keturunan), status sosial (jabatan, pangkat) agama (akhlak) dan harta kekayaan.

b. Hukum Kafaah

Kafaah adalah hak perempuan dari walinya. Jika seseorang perempuan rela menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, tetapi walinya tidak rela maka walinya berhak mengajukan gugatan fasakh (batal). Demikian pula sebaliknya, apabila gadis shalihah dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, ia berhak mengajukan gugatan fasakh. Kafaah adalah hak bagi seseorang. Karena itu  jika yang berhak rela tanpa adanya kafaah, pernikahan dapat diteruskan.

Beberapa pendapat tentang hal-hal yang dapat diperhitungkan dalam kafaah, yaitu:
1) Sebagian ulama mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan nasab (keturunan),  kemerdekaan, ketataan, agama, pangkat  pekerjaan/profesi dan kekayaan.
2) Pendapat lain mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan ketataan menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak sekufu dengan perempuan yang akhlaknya mulia.

a. Kufu ditinjau dari segi agama. Firman Allah SWT :
Artinya: "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, sekali pun ia sangat menggiurkanmu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanita- wanita mukmin kamu) dengan pria musyrik sehingga mereka beriman. Sungguh budak laki-laki yang mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun menggiurkanmu." (QS. Al-Baqarah 221)

Ayat di atas menjelaskan tentang tinjauan sekufu dari segi agama. Yang menjadi standar disini adalah keimanan. Ketika seorang yang beriman menikah dengan orang yang tidak beriman, maka pernikahan keduanya tidak dianggap sekufu.


b. Kufu’ dilihat dari segi iffah

Maksud dari ‘iffah adalah terpelihara dari segala sesuatu yang diharamkan dalam pergaulan. Maka, tidak dianggap sekufu ketika orang yang baik dan mulia menikah dengan seorang pelacur, walaupun mereka berdua seagama. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak boleh menikahi dengan siapapun, kecuali dengan wanita yang berzina atau wanita musyrik, dan wanita yang berzina siapapun tidak boleh menikahinya, kecuali laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan demikian yang diharamkan atas orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nur : 3)

V. SYARAT DAN RUKUN NIKAH

a. Pengertian

Rukun nikah adalah unsur pokok yang harus dipenuhi, hingga pernikahan menjadi sah.

b. Syarat dan Rukun Nikah

Adapun syarat dan rukun nikah ada 5. Berikut penjelasan singkatnya:
1) Calon suami, syaratnya :
a). Beragama Islam
b). Ia benar-benar seorang laki-laki
c). Menikah bukan karena dasar paksaan
d). Tidak beristri empat. Jika seorang laki-laki mencerai salah satu dari keempat istrinya, selama istri yang tercerai masih dalam masa ’iddah, maka ia masih dianggap istrinya. Dalam keadaan seperti ini, laki-laki tersebut tidak boleh menikah dengan wanita lain.
e). Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia nikahi
f). Calon istri bukanlah wanita yang haram dimadu dengan istrinya, seperti menikahi saudara perempuan kandung istrinya (ini berlaku bagi seorang laki-laki yang akan melakukan poligami)
g). Tidak sedang berihram haji atau umrah

2) Calon istri, syaratnya :
a). Beragama Islam
b). Benar-benar seorang perempuan
c). Mendapat izin menikah dari walinya 
d). Bukan sebagai istri orang lain
e). Bukan sebagai mu’taddah (wanita yang sedang dalam masa ‘iddah)
f ). Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suaminya
g). Bukan sebagai wanita yang pernah dili’an calon suaminya (dilaknat suaminya karena tertuduh zina)
h). Atas kemauan sendiri
i). Tidak sedang ihram haji atau umrah

3) Wali, syaratnya :
a). Laki-laki
b). Beragama Islam 
c). Baligh (dewasa) 
d). Berakal
e). Merdeka (bukan berstatus sebagai hamba sahaya)
f ). Adil
g). Tidak sedang ihram haji atu umrah

4) Dua orang saksi, syaratnya :
a). Dua orang laki-laki 
b). Beragama Islam
c). Dewasa/baligh, berakal, merdeka dan adil 
d). Melihat dan mendengar
e). Memahami bahasa yang digunkan dalam akad
f). Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah 
g). Hadir dalam ijab qabul

5) Ijab qabul, syaratnya :
a). Menggunakan kata yang bermakna menikah  (النِّكَاحُ) atau menikahkan (التَّزْوِيْجُ), baik bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah sang pengantin.
b). Lafadz ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan).
c). Antara ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.
d). Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun.
e). Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

VI. WALI DAN SAKSI

Wali dan saksi dalam pernikahan merupakan dua hal yang sangat menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Keduanya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Rasulullah SAW bersabda :
Arinya: “Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seijin walinya maka batal pernikahannya, dan jika ia telah disetubuhi, maka bagi perempuan itu berhak menerima mas kawin lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya, dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka sultanlah yang menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Imam yang empat)

Wali Nikah

a. Pengertian Wali

Seluruh madzab sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah wali perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki yang menjadi pilihan wanita tersebut.

b. Kedudukan Wali

Sabda Rasulullah  SAW :
“Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lain, dan jangan pula ia menikahkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruqutni)

Senada dengan riwayat di atas, dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : “Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan wali yang dewasa dan dua orang saksi adil”. (HR.Tirmiżi)

c. Syarat-syarat wali :

1) Merdeka (mempunyai kekuasaan)
2) Berakal
3) Baligh
4) Islam

Bapak atau kakek calon pengantin wanita yang dibolehkan menikahkannya tanpa diharuskan meminta izin terlebih dahulu padanya haruslah memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut
2) Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
3) Calon suami itu mampu membayar mas kawin
4) Calon  suami  tidak  cacat  yang  membahayakan  pergaulan  dengan  calon pengantin wanita seperti buta dan yang semisalnya

d. Macam Tingkatan Wali

Wali nikah terbagi menjadi dua macam yaitu  wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah wali dari pihak kerabat. Sedangkan wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan  dengan sebab tertentu.

Berikut urutan wali nasab, dari yang paling kuat memiliki hak perwalian hingga yang paling lemah.
1) Ayah
2) Kakek dari pihak bapak terus ke atas
3) Saudara laki-laki kandung
4) Saudara laki-laki sebapak
5) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
6) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
7) Paman (saudara bapak) sekandung
8) Paman (saudara bapak) sebapak
9) Anak laki-laki dari paman sekandung
10) Anak laki-laki dari paman sebapak
11) Hakim

d.1. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh, berakal, dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Hanya bapak dan kakek yang dapat menjadi wali mujbir.

d.2. Wali Hakim
Yang dimaksud dengan wali hakim adalah kepala negara yang beragama Islam. Dalam konteks keindonesiaan tanggung jawab ini dikuasakan kepada Menteri Agama yang selanjutnya dikuasakan kepada para pegawai pencatat nikah. Dengan kata lain, yang bertindak sebagai wali hakim di Indonesia adalah para pegawai pencatat nikah.

Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : “Seorang sulthan (hakim/penguasa) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali (H.R. Imam empat)

Sebab-sebab perempuan berwali hakim yaitu :
1) Tidak ada wali nasab
2) Yang lebih dekat tidak mencukupi syarat sebagai wali dan wali yang lebih jauh tidak ada
3) Wali  yang  lebih  dekat  ghaib  (tidak  berada  di  tempat/berada  jauh  di luar wilayahnya) sejauh perjalanan safar yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya
4) Wali yang lebih dekat sedang melakukan ihram / ibadah haji atau umrah
5) Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai
6) Wali yang lebih dekat tidak mau menikahkan
7) Wali yang lebih dekat secara sembunyi-sembunyi tidak mau menikahkan (tawari)
8) Wali yang lebih dekat hilang, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula hidup dan matinya (mafqud)

d.3. Wali adhal
Wali  adhal  adalah  wali  yang  tidak  mau  menikahkan  anaknya/cucunya, karena calon suami yang akan menikahi anak/cucunya tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya. Padahal calon suami dan anaknya/cucunya sekufu. Dalam  keadaan  semisal  ini  secara  otomatis  perwalian  pindah  kepada wali  hakim.  Karena  menghalangi-halangi  nikah  dalam  kondisi  tersebut merupakan  praktik  adhal  yang  jelas  merugikan  calon  pasangan  suami istri, dan yang dapat menghilangkan kedzaliman adalah hakim. Rasulullah bersabda: Artinya:  Sulthon (hakim) adalah wali bagi seseorang yang tidak mempunyai wali (H.R. Imam yang Empat)

Apabila adhalnya sampai tiga kali, maka perwaliannya pindah pada wali ab’ad bukan wali hakim. Kalau adhal-nya karena sebab yang logis menurut hukum Islam, maka apa yang dilakukan wali dibolehkan. Semisal dalam beberapa keadaan berikut:
1) Calon pengantin wanita (anaknya/cucunya) akan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu
2) Mahar calon pengantin wanita di bawah mahar mitsli
3) Calon pengantian wanita dipinang oleh laki-laki lain yang lebih pantas untuknya

Saksi Nikah

a. Kedudukan Saksi

Kedudukan saksi dalam pernikahan yaitu :
1. Untuk menghilangkan fitnah atau kecuriagaan orang lain terkait hubungan pasangan suami istri.
2. Untuk lebih menguatkan janji suci pasangan suami istri. Karena seorang saksi  benar-benar  menyaksikan  akad  nikah  pasangan  suami  istri  dan janji mereka untuk saling menopang kehidupan rumah tangga atas dasar maslahat bersama.
Seperti halnya wali, saksi juga salah satu rukun dalam pernikahan. Tidak sah suatu pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi.

b. Jumlah dan Syarat Saksi

Saksi dalam pernikahan disyaratkan dua orang laki-laki. Selanjutnya ada dua pendapat tentang saksi laki-laki dan perempuan. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak syah. Pendapat pertama yang menegaskan bahwa pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah bersandar pada firman Allah ta’ala :
Artinya:  "Angkatlah dua orang saksi laki-laki diantara kamu jika tidak ada angkatlah satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui." (QS. Al Baqarah : 282).

Pendapat  pertama  ini  diusung  oleh  kalangan  ulama  pengikut  madzhab Hanafiyyah.

c. Syarat-sayart saksi dalam pernikahan
1) Laki-laki
2) Beragam Islam
3) Baligh
4) Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan akad
5) Bisa berbicara, melihat, berakal
6) Adil

Sabda Rasulullah Saw.:
Artinya: “Sahnya suatu pernikahan hanya dengan wali dan dua orang saksi yang adil”. (H.R. Ahmad)


VII. IJAB QABUL

Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.
Adapun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
a. Orang yang berakal sudah tamyiz
b. Ijab qabul diucapkan dalam satu majelis
c. Tidak ada pertentangan antara keduanya
d. Yang berakad adalah mendengar atau memahami bahwa keduanya melakukan akad
e. Lafaz ijab qabul diucapkan dengan kata nikah atau tazwij atau yang seperti dengan kata-kata itu
f. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu misalnya setahun, sebulan dan sebagainya.

VIII. MAHAR

a. Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istri karena sebab pernikahan. Mahar bisa berupa uang, benda, perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al Qur’an.
Firman Allah SWT :
Artinya: “Bayarkanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian hibah/tanda cinta (QS. An Nisa 4)

b. Ukuran Mahar
Salah satu kewajiban suami kepada istri adalah memberikan mahar. Mahar merupakan simbol penghargaan seorang laki-laki kepada calon istrinya. Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa mahar bisa berupa benda (materi) atau kemanfaatan (non materi). Rasulullah Saw. menganjurkan kesederhanaan dalam memberikan mahar. Beliau bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya nikah yang paling diberkahi adalah yang paling sederhana maharnya.” (H.R. Ahmad)

Dalam riwayat lain beliau juga bersabda:
Artinya:“Nikahlah engkau walau maharnya berupa cincin dari besi” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Bahkan dalam salah satu kesempatan Rasulullah pernah menikahkan seorang laki-laki dengan hafalan al-Qur’an yang ia miliki, setelah sebelumnya ia tak mampu menghadirkan benda apapun untuk dijadikan mahar. Rasulullah sampaikan pada lakik-laki tersebut:
Artinya: ”Aku telah menikahkanmu dengan hafalan al-Qur’anmu.” (H.R. Bukhari Muslim)

c. Macam-macam Mahar
Jenis mahar ada dua, yaitu:
1). Mahar Musamma yaitu mahar yang jenis dan jumlahnya disebutkan saat akad nikah berlangsung.
2). Mahar Mitsil yaitu mahar yang jenis atau kadarnya diukur sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh anggota keluarga atau tetangga terdekat kala mereka melangsungkan akad nikah dengan melihat status sosial, umur, kecantikan, gadis atau janda.
d. Cara Membayar Mahar
Pembayaran mahar dapat dilaksanakan secara kontan (حالا) atau dihutang. Apabila kontan maka dapat dibayarkan sebelum dan sesudah nikah. Apabila pembayaran dihutang, maka teknis pembayaran mahar sebagaimana berikut:
1). Wajib dibayar seluruhnya, apabila suami sudah melakukan hubungan seksual dengan istrinya, atau salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia walaupun keduanya belum pernah melakukan hubungan seksual sekali pun.
2). Wajib dibayar separoh, apabila mahar telah disebut pada waktu akad dan suami telah mencerai istri sebelum ia dicampuri. Apabila mahar tidak disebut dalam akad nikah, maka suami hanya wajib memberikan mut’ah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ϐirman Allah berikut:
Artinya: “Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang kalian sudah tentukan.” (QS.Al-Baqarah : 237).

IX. MACAM-MACAM PERNIKAHAN TERLARANG

1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Nabi Muhammad Saw.  akan tetapi pada perkembangan selanjutnya beliau melarangnya selama-lamanya.
Banyak teks syar’i yang menjelaskan tentang haramnya nikah mut’ah. Diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Salmah bin al-Akwa’ ia berkata,
Artinya: Dari Salah bin Al Akwa ra ia berkata“Pernah Rasulullah SAW. membolehkan perkawinan mut’ah pada hari peperangan Authas selama tiga hari. Kemudian sesudah itu ia dilarang.” ( H.R. Muslim )

2. Nikah Syighar (kawin tukar)
Yang dimaksud dengan nikah syighar adalah seorang perempuan yang dinikahkan walinya dengan laki-laki lain tanpa mahar, dengan perjanjian bahwa laki-laki itu akan menikahkan wali perempuan tersebut dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya.
Rasulullah secara tegas telah melarang jenis pernikahan ini. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim, beliau bersabda:
Artinya: ”Tidak ada (tidak syah) nikah syighar dalam Islam.”(HR. Muslim)

3. Nikah Tahlil
Gambaran nikah tahlil adalah seorang suami yang menthalaq istrinya yang sudah ia jima', agar bisa dinikahi lagi oleh suami pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq tiga (thalaq bain) kepadanya.

Nikah  tahlil  merupakan  bentuk  kerjasama  negatif  antara  muhallil  (suami pertama) dan muhallal (suami kedua). Nikah tahlil ini masuk dalam kategori nikah  muaqqat  (nikah  dalam  waktu  tertentu)  yang  terlarang  sebagaimana nikah mut’ah. Dikatakan demikan karena suami kedua telah bersepakat dengan suami pertama untuk menikahi wanita yang talah ia thalaq tiga, kemudian suami kedua melakukan hubungan seksual secara formalitas dengan wanita tersebut untuk kemudian ia thalaq, agar bisa kembali dinikahi suami pertamanya. Tentang pengharaman nikah tahlil Rasulullah telah menegaskan dalam banyak sabda beliau. Di antaranya hadis yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata:
Artinya: "Dari Ibnu Mas’ud RA. berkata: Rasulullah telah mengutuki orang laki-laki yang menghalalkan dan yang dihalalkan" ( H.R. at-Tirmiżi dan Nasa’i )

4. Nikah beda Agama
Allah berfirman:
Artinya: “Jangan nikah perempuan-perempuan musyrik (kaϔir) sehingga mereka beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu (karena kecantikannya) janganlah kamu nikahkan  perempuan  muslimah  dengan  laki-laki  musyrik  sehingga  ia  beriman.” (QS. AL-Baqarah : 221).

X.   HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

a. Kewajiban Bersama Suami Istri
1. Mewujudkan pergaulan yang serasi, rukun, damai, dan saling pengertian;
2. Menyanyangi semua anak tanpa diskriminasi
3. Memelihara, menjaga, mengajar dan mendidik anak
4. Kewajiban suami
5. Kewajiban memberi nafkah

b. Kerwajiban bergaul dengan istri secara baik ( Q.S. an-Nisa : 19)
1. Kewajiban memimpin keluarga (Q.S. an-Nisa’ : 34)
2. Kewajiban mendidik keluarga (Q.S. at-Tahrim : 6)

c. Kewajiban Isteri
1. Kewajiban mentaati suami
2. Kewajiban menjaga kehormatan (Q.S. an-Nisā’ : 34)
3. Kewajiban mengatur rumah tangga
4. Kewajiban mendidik anak (Q.S. al-Baqarah : 228)

Posting Komentar

0 Komentar