Saat melihat video yang sedang rame dari seorang gus, saya lihat itu kok kayak “ngokop”, bukan sekadar mencium. Tentu saya sangat tidak setuju hal kayak gitu. Kini saya agak mengerti mengapa muncul istilah peyoratif "gus-gusan."
Beberapa ulama yang saya tahu mengekspresikan adab perhatian dan kasih sayang pada anak orang lain dengan tidak sampai menggendong apalagi mencium, namun dia jongkok sampai tingginya sejajar dengan si anak, salim tangan, mendoakan, lalu diajak ngobrol sebentar, kadang-kadang dikasih uang sangu juga.
Saya teringat sesuatu hal yang kerap dilupakan. Dalam khazanah etika Jawa, ada istilah empan papan. Ini perilaku yang lembut dan rumit namun dipandang perlu, dalam rangka bertindak dan bersikap secara bijak dan proporsional dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Empan papan membutuhkan kesadaran yang integral antara aspek rasional, rasa-perasaan, sifat dan perilaku pada manusia. Tindakan yang empan papan diperoleh ketika unsur² yang ada dalam diri manusia sudah empan papan terlebih dahulu. Karenanya, dalam pengertian yang lebih dalam, empan papan bukan hanya soal adab atau sopan santun, tetapi juga berkaitan erat dengan keadaan dan sifat batin sekaligus posisi batin seseorang.
Ketika seseorang belajar secara spiritual untuk meletakkan seluruh unsur dalam dirinya dengan tepat di hadapan Allah, yakni empan papan dalam kehadiran ilahi, ia pada saat yang sama akan mendapat petunjuk dari Tuhan untuk empan papan dalam situasi duniawi atau dalam relasi sosial. Yaitu, idealnya orang bisa meng- empan -papan-kan akal, pikiran, hati, rasa rohaninya dan perbuatan lahirnya.
Menjadi “spotlight” di dunia keagamaan risikonya cukup besar. Sebagian besar legitimasi otoritas yang berkaitan dengan agama adalah pada aspek etika, adab dan moral/akhlak karimah. Jika orang yang punya ilmu pengetahuan luas soal agama namun etika dan akhlaknya jauh dari apa yang dibicarakan dalam ilmu pengetahuan agama, kita tentu bisa tahu apa jadinya, baik itu bagi si pendakwah itu maupun bagi orang lain. Menjadi empan papan dalam konteks ini bukan hanya perlu penguasaan pengetahuan ilmu yang memadai, tetapi juga sangat butuh penempaan jiwa dan latihan spiritual yang benar agar hati selalu menghadap Tuhan dalam situasi apapun, termasuk ketika ia diletakkan oleh Tuhan dalam posisi yang menjadi banyak perhatian orang.
Kita kadang lupa, dalam ayat-Nya, Tuhan memerintahkan agar kita bicara dan bertindak bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan hikmah. Hikmah ini dalam pengertian kearifan. Dan kearifan bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh hanya dengan membaca kitab atau pandai berorasi. Kearifan lahir dari bagaimana seseorang mengamalkan ilmu sekaligus menjalani berbagai macam ujian dan cobaan, penderitaan, kesedihan, tekanan dan persoalan hidup sambil mempertahankan hatinya untuk selalu ingat kepada Tuhan.
Godaan viral dan efek popularitas, jika jiwa belum matang secara emosional dan spiritual, bisa menjadikan orang seperti yang pernah diperingatkan dalam Serat Wedatama: "Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, Keseselan hawa, Cupet kepepetan pamrih, Tangeh nedya anggambuh mring Hyang wisesa.
Kira² begitu...


0 Komentar