Mungkin saat ini agak susah untuk bersyukur dengan sepenuh hati mengingat situasi semakin memburuk dan kabar duka di mana-mana. Bahkan di twitter "innalillahi" sempat menjadi trending topic.
Tetapi ada satu cara agar kita, yang masih diizinkan bertahan, untuk bersyukur. Dalam situasi pandemi, mengelola kejiwaan akan sangat sulit. Barangkali ini saatnya untuk sungguh-sungguh menghubungkan diri lagi dengan Tuhan, menjadikan Dia menjadi tumpuan jiwa sebagai dasar untuk berikhtiar semampunya.
Yang masih sehat bisa mensyukuri nikmat sehat dengan cara tidak menjadikan diri berisiko besar terpapar virus dengan taat prokes, tidak keluyuran jika tak urgen, atau jika harus bekerja di luar ikuti prokes semampu mungkin, jaga jarak, dan sebagainya. Paling tidak berusaha keras bersama-sama menurunkan tingkat penularan sehingga sistem kesehatan dan fasilitas kesehatan tak ambruk, sehingga bisa lebih banyak lagi yang sembuh. Satu nyawa boleh jadi amat berarti bagi satu keluarga. Yang punya duit lebih bisa membantu semampunya. Atau, paling tidak, kita kurangi pertengkaran dan tak menyebarkan hoax. Kalau rajin, menjadikan rumah sebagai "masjid" untuk keluarga, ibadah dan berdo'a bersama agar semua umat dikuatkan, diredakan kesusahannya dan mendoakan agar para tenaga kesehatan dan ilmuwan memperoleh petunjuk untuk menemukan obat atau cara menghilangkan bahaya virus.
Intinya, kalau kita sudah tak bisa mengubah situasi di luar, karena situasi darurat, maka kita yang mesti mengubah diri, terutama mengubah hati kita agar kembali menghadap Tuhan dan mengubah perilaku.
Orang beragama tahu bahwa sebagian ajaran agama adalah untuk "mengendalikan diri dan berbagi kebaikan." Dalam salat kita mengendalikan diri agar menyadari Tuhan selalu hadir sehingga diharapkan membuat kita menjauhi perbuatan keji dan munkar. Puasa jelas metode pengendalian diri. Zakat dan sedekah adalah berbagi. Dan Tuhan juga memerintahkan berlomba-lomba dalam kebaikan kita bisa berprasangka baik kepada Tuhan bahwa ini saatnya Tuhan membuka kesempatan yang jauh lebih besar untuk berbuat kebaikan. Bahkan jika rebahan di rumah dengan niat membantu mengurangi penularan karena rasa kasih sayang kita pada nasib sesama akan dihitung ibadah.
Imam Syadzili r.a. mengatakan "selalu ada alasan untuk bersyukur." Dan Kanjeng Nabi mencontohkan ucapan "Alhamdulillah ala kulli haal." Boleh jadi sekarang kita sedih, sesak dan sambat, itu tidak apa-apa, asal kita ingat ayat yang mengatakan bahwa "tak ada ciptaan yang sia-sia." Kita boleh saja bersedih, dan akui saja di hadapan Tuhan bahwa kita bersedih, tak berdaya, khawatir, takut. Jangan takut untuk mengaku takut, karena takut adalah salah satu perasaan yang dianugerahkan Tuhan kepada makhluknya sebagai salah satu mekanisme bertahan hidup.
Kalau sudah mengaku takut mau apa? Daripada denial pada rasa takut, mending mengaku takut dan mulai ikhtiar secara lahir, sedangkan batin berharap pada perlindunganNya. Perlindungan dari virus. Kalau kena juga, mohon perlindungan dari kematian dan perlindungan dari su'ul khatimah. Maka jika kita tidak terkena sampai pandemi berakhir, kita menisbahkan keselamatan pada PerlindunganNya sehingga tidak muncul kepongahan. Jika sembuh maka kita juga lebih bersyukur. Kalau meninggal, setidaknya selama masih berikhtiar bertahan hidup, hati kita telah memasrahkan ketentuan padaNya hingga napas terakhir, hati telah tunduk, dan bukankah Islam berarti tunduk kepadaNya dan bukankah Allah melihat hatimu?
Dengan cara ini aku bisa tetap tenang, tidak berkerumun ya tenang, setiap harus keluar selalu mempersiapkan protokol kesehatan dengan hati tenang, mendengar kabar-kabar buruk juga tenang dan lebih waspada, mendengar kabar kawan atau orang meninggal juga tak membuat sedih lama-lama karena hati yang tunduk akan segera mengubah kesedihan menjadi rasa kasih-sayang dan do'a, dan membuat diri makin gigih berikhtiar sehat agar tidak tertular dan menulari. Seperti itu caraku menjalankan kepasrahan dalam ikhtiar dan berikhtiar dalam kepasrahan.
Dengan begini kita akan lebih menyayangi orang lain, berempati dan mendoakan nakes dan ilmuwan yang terus-menerus berjuang dengan risiko besar di garda depan walau kerap dicaci dan dituduh macam-macam.
Hati yang tenang akan mudah bersyukur karena tidak mudah negative thinking walau rasa sedih dan takut itu pasti ada. Hati yang tenang bisa melihat bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang sebagai rabb, Tuhan yang mendidik dan mengatur, sedang mendidik jiwa kita, tinggal kita mau apa tidak. Kalau mau, kita akan merasakan hasilnya nanti jika engkau percaya akhirat itu ada.
Dan tanpa kita sadari, kita juga sedang dididik sabar, menahan diri, ikhtiar, tidak putus asa, empati, kasih-sayang, saling berbagi dan membantu, syukur dan tunduk menjadi manusia yang memanusiakan manusia.
Dengan selalu mengaitkan apa saja perbuatan, pikiran dan hati, dengan Tuhan maka, entah kita yang masih bertahan ini bisa melalui situasi dalam keadaan hidup atau tidak, kita insya Allah dicatat oleh Tuhan sebagai hamba yang sudah berusaha sebaik-baiknya, semampu-mampunya, dalam berikhtiar dan berlomba-lomba berbuat kebajikan dengan hati yang tunduk, hati yang islam.
0 Komentar