Ragu Tinggal di Desa?

 
Oleh : Abdul Latif

Pagi ini masih seperti pagi-pagi yang lalu. Pasca subuh kutelusuri jalanan kampung dengan sepeda gunung tuaku. Udara yang sejuk, angin sepoi, hamparan padi menguning yang siap untuk dipanen, sungguh pemandangan yang membuat manja semua mata. Inilah gambaran kehidupan pagi ini di kampungku, Gembes.

Sungguh hidup di desa itu nyaman dan tenang. Sedikit gambaran saja bahwa sendi-sendi kehidupan desa bisa menjadi sebuah alternatif dari rongsoknya pikiran yang pusing memikirkan sesuatu kala sesuatu membludak menjadi masalah akut yang tak henti-hentinya mengimbangi masa  hidup sebagai bentuk baru. Tentang bagaimana menjadi tenang, tentang bagaimana, tentang bagaimana! Semua menjadi prioritas masing-masing untuk menemukan solusi. Dan aku menemukan jawaban itu.

Desa hanya bisa terdiam, diam di balik rimbunnya pohon-pohon dan ratusan nama hutan di kaki gunung. Tempat di mana keluarga sederhana, maupun keluarga yang terkesan elit, semua ada. Termasuk aku yang menempati posisi sederhana. Kesederhanaan menjadi sebuah ciri-khas yang menggelora kala hutan menutupi rasa angkuh untuk saling bergerumul menggandeng tangan satu sama lain. Tak mengusung kasta, tak mengungkap seberapa kesalahan dan keluh kesah yang saling menghantui. Mereka semua terkait mengikat batin.

Gaya hidup yang benar-benar guyub dan rukun tertanam jauh sebelum aku lahir. Dan desa pula yang membuat sadar sebagian orang kota. Aku bukan kota. Aku lebih suka menyebut diri semi-kota yang bisanya antisosial dengan orang-orang di desaku sendiri. Di desa pula orang akan terbebas dari riuhnya suasana kota. Karena di desa tak akan pernah ada orang yang semaunya sendiri memajang baliho-baliho. Seperti yang riuh di kota sekarang ini.

Desa itu mengandung orang-orang yang mengharuskan untuk menyapa kala lewat untuk pergi maupun datang kembali. Keharusan itu sudah membudaya. Sehingga timbul anggapan kalau tidak menyapa dianggap sombong. Kalau toh aku tidak menyapa, tidaklah sulit menerima sapaan dari mereka ketika aku berjalan mengitari kampung-kampung yang luasnya dipagari hutan dan beragam tumbuhan hasil panen. Termasuk bunga cengkeh, komoditi yang bisa menimbulkan timbunan rupiah. Sudah biasa, sudah biasa mereka menjadi petani yang siap menapaki jalan gunung terjal sebagai jalan menuju kehidupan.

Orang-orang sekalipun sudah tua mengangkat rerumputan setiap hari untuk pakan-pakan kambing-kambing yang mengembik lapar. Dan sapi-sapi yang melenguh kasar. Mereka tak berat hati berjalan ratusan meter dengan tipologi tanah yang meninggi. Kaki mereka rupa-rupanya memang mirip sepatu kuda. Yang tak lelah sekalipun banyak testimoni alam menjadi penghalang. Mereka bisa berbahasa Jawa dengan sangat indah. Bahkan mungkin masih dengan sangat hafal menulis jawa tulen seperti Hanacaraka tempat aku sewaktu MI dulu pernah mempelajarinya dan mendapat rangking dua, dari belakang.

Kilau awan seperti santan, lalu menghitam dan tembus menjadi hujan menjadi pemandangan paling menenangkan saat aku membaca buku di beranda depan rumah. Ya, di depan rumahku ada hamparan sawah, yang tiap pagi kusapa, bahkan ketika burung-burung hama memakan padi akupun tiap pagi ikut mengusirnya walaupun bukan sawahku sendiri. Sungguh membuatku senang.

Walaupun kehidupan di desa sekarang tak seperti yang dulu, namun kekhasan-nya belum hilang, dan jangan sampai hilang. Desa sudah mulai melirik suasana kota. Walau sebenarnya orang kota merindukan suasana desa. Di desaku gaya bangunan klasik sudah jarang terlihat. Orang-orang mulai membuat desain rumah semi modern, hampir menyerupai rumah-rumah di kota. Sedikit perubahan yang tidak apa-apa sebenarnya. Mungkin itu bentuk akulturasi budaya. Karena tak bisa dipungkiri, keterbukaan informasi membuat pola pikir orang desa pun terbuka, berubah.

Harapanku, walaupun secara kasat mata desa sudah mulai berubah namun ruh dari desa itu sendiri janganlah hilang. Gotong royong, guyub rukun, saling sambang satu sama lain, saling sapa, dan berjuta hal sederhana lainnya yang membuat hati tenang, sedangkan yang menjadi ketenangan dalam hidup adalah ketenangan itu sendiri.

Jangan ragu tinggal di desa.


Posting Komentar

0 Komentar